Menurut agama Hindu, upacara mepandes merupakan ritual
keagamaan yang harus dilaksanakan oleh semua umat Hindu, khususnya bagi umat
Hindu yang telah menginjak masa remaja. Dalam ajaran ini terkandung nilai-nilai
pendidikan budhi pekerti yang sedang dibutuhkan pada masa remaja sebagai sarana
dalam pembentukan kepribadian anak yang merupakan kelanjutan dari pembentukan
di masa bayi dalam kandungan, dengan harapan lahirnya anak yang suputra (anak
yang baik). Oleh karena itu, sifat-sifat keraksasaan tersebut perlu
dinetralisir dan dikendalikan, agar nantinya dapat tercapainya tujuan dharma.
Dari pelaksanaan ini diharapkan sifat-sifat keraksasaan tersebut dapat berubah
menjadi sifat-sifat kebaikan. Selain itu, melalui upacara mepandes, seorang
anak telah dilahirkan kedua kali, dan dikatakan kelahiran yang sesungguhnya
menjadi anak suputra. Anak yang suputra akan mampu melebur dosa-dosa ke sepuluh
tingkat leluhurnya dan akan kembali ke hadapan pencipta.1
Menurut sastra agama Hindu, yang menjadi dasar pelaksanaan
upacara mepandes adalah petunjuk bagi setiap umat Hindu, bahwa setiap manusia
yang dilahirkan ke dunia telah membawa karma wesana (sisa-sisa karma di
kehidupan terdahulu). Dengan adanya karma wesana tersebut akan memberi pengaruh
kepada manusia yang bersifat kebajikan dan keburukan. Kedua kekuatan ini telah
bersemayam ke dalam diri manusia yang tampak berupa karakteristik dari
masing-masing manusia sehingga kekuatan tersebut akan mengalir seperti anak
sungai dan muncul ke dalam pikiran dan tingkah lakunya. Dari perilaku inilah
yang menjadi cerminan dua kecenderungan yaitu kecenderungan kebajikan dan
kecenderungan keburukan. Sehubungan dengan upacara mepandes, kecenderungan
keburukan ini merupakan kekuatan penggoda manusia yang dikatakan sebaggai salah
satu musuh dalam diri (sad ripu), berupa kama (nafsu), lobha (ketamakan),
krodha (kemarahan), mada (kemabukan), moha (kebingungasn), matsarya (iri hati).
Berdasarkan uraian tersebut, maka kekuatan sad ripu tersebut setelah
dikendalikan memiliki kekuatan yang berintegrasi di anta satu dengan lainnya. Sehubungan
dengan upacara potong gigi, sad ripu disimbulkan dengan enam buah gigi (4 gigi
seri, dan 2 gigi taring pada rahang atas), yang mana sad ripu mengandung
kekuatan keraksaasaan, oleh karena itu harus dikendalikan. Sehingga keenam gigi
tersebut dipotong sebagai simbul kekuatan dharma melawan kekuatan buruk
(adharma).1
Apabila
dipandang dari sisi jasmaniah, upacara ini mengandung nilai estetika, bahwa
dengan cara membuat bentuk gigi supaya terlihat lebih serasi dengan mulut,
sehingga terlihat lebih indah dan cantik. Apabila dipandang dari sudut duniawi,
terlihat adanya nilai-nilai pendidikan budhi pekerti yang saat mepandes
merupakan kesempatan orang tua untuk memberikan petuah petuah bernafaskan
ajaran agama yang nantinya dapat diamalkan yang terkait dengan pendidikan budhi
pekerti sehingga membentuk kepribadian anak ke tingkat yang lebih stabil.1
Umat Hindu di Bali, dalam melaksanakan upacara
mepandes, sangat kental dengan adat istiadatnya. Berdasarkan sastra drestha
(menurut sastra), akan dipaparkan mengenai tata cara pelaksanaan upacara
mepandes sebagai berikut.1
Gambar 1. Kegiatan Mepandes
1. Upacara Pekala-kalan
Tujuan upacara
ini adalah korban suci kepada bhatara kala agar pengaruh keburukan dapat
dinetralisir yang dilakukan melalui serangkaian kegiatan persembahyangan.
2. Upacara Pengekeban
Upacara
ini memiliki makna adanya perubahan status dari anak-anak menjadi status
remaja.
3. Upacara Ngendag
Upacara
ngendag adalah peotongan enam buah ggi (empat gigi seri dan dua gigi taring
atas). Upacara ini dilaksanakan di merajan (tempat sembahyang di rumah). Saat
upacara ini, sang anak harus melakukan sujud di hadapan orang tua. Seorang anak
yang dilahirkan ke dunia memiliki hutang spiritual kepada orang tua, khususnya
ibu yang telah mengandungnya selama 9 bulan. Terlebih lagi ibu melahirkan harus
menahan sakit yang teramat sangat dan setelah lahir, anak dibesarkan.kadang
anak-anak sering menyakiti perasaan orang tua seerti mengumpat atau memukul
orang tua. Hal itulah yang dianggap sebagai perbuatan dosa kepada orang tua
yang nantinya diperitungkan sebagai hutang kepada orang tua. Oleh karena itu,
orang tua harus memberikan kesempatan kepada anak untuk membayar hutang berupa
pelaksanaan kebajikan melalui tata cara menyembah orang tuanya agar anak mampu
mencapai status sebagai anak suputra (baik).
Terkait pelaksanaan tata cara pemotongan gigi,
dilakukan pada sebuah ruangan (bale). Di ruangan tersebut terdapat sebuah
tempat tidur yang beralaskan tikar dann berisi tulisan atau rerajahan berupa gambar
Sang Hyang Semaraja atau Samara Ratih dan pada plafon dibuat
semacam hiasan dari kain berbentuk melingkar yang disebut telage ngambeng. Upacara ngendag memiliki urutan sebagai berikut.
a. Urutan penulisan (ngerajah)
Penulisan menggunakan cincin emas permata mirah, dimana sebelum
dilakukan penulisan pada badan anak yang mepandes, cincin dicelupkan dulu ke
dalam cairan madu lebah bercampur kapur sirih. Penulisan ini merupakan simbul niyasa, untuk menetralisir kekuatan sad
ripu. Penulisan dengan cincin emas permata mirah sebagai simbul lingga yoni
yang merupakan perwujudan Sang Hyang Siwa
Guru. Sedangkan madu dicampur kapur sirih sebagai simbul pengurip-urip
untuk membangkitkan kekuatan aksara suci tersebut.
b. Urutan pemotongan secara simbolik
Pada tahap ini seorang sangging
(orang yang akan membantu melakukan pengikiran gigi saat proses mepandes) mengambil
pahat dan semiti (palu) kemudian diberi mantra.
c. Tahapan budaya dan adat istiadat
Beberapa tahapan yang dilakukan antara lain:
-
Sang sangging
terlebih dahulu datang ke bale pesangihan
(tempat upacara mepandes) untuk melaksanakan pemujaan kehadapan Sang Hyang Semaraja atau Samara Ratih
-
Umat yang akan
mepandes duduk sesuai dengan sikapnya masing-masing (disesuaikan untuk lelaki
dan perempuan) lalu melakukan persembahan kehadapan Sang Hyang Semaraja atau Samara
Ratih dengan menggunakan kwangen (hiasan
bunga) berisi sebelas uang kepeng. Selanjutnya dipercikkan air suci dan
ditidurkan dengan posisi terlentang ditutup setengah badan dengan kain wali, di bagian dada ditutup dengan
kain kekasang.
-
Seorang sangging telah siap mengerjakan dengan
perlatan dan sarana yang lengkap. Pertama memasang pedanggal pada gigi geraham
kanan sebagai penyangga gigi agar lebih mudah mengerjakannya. Pedanggal
merupakan penyangga rahang atas dengan rahang bawah agar rahang tetap menganga
untuk memudahkan pelaksanaan pemotongan gigi. Selanjutnya sangging mengambil kikir sambil mengucapkan mantra. Setelah ujung
gigi seri dan taring rata sesuai roman muka, maka dihaluskan lagi dengan batu
asah kecil sambil mengucapkan mantra. Selanjutnya gigi diberi penguri-urip berupa kunir, kapur sirih,
dan madu dengan cara digosokkan sampai rata. Kemudian yang terakhir diberi lekesan (terbuat dari daun sirih) agar
dipotong-potong dengan cara menggigit memakai gigi depan sebanyak tiga kali dan
potongannya dibuang ke dalam bungkak
kelapa gading.
-
Setelah selesai,
umat yang mepandes dipersilahkan turun dari tempat tidur serta menginjak
upakara peras enjekan secara simbolis,
kemudian masuk kembali ke tempat pengengkeban,
demikian silih berganti sampai selesai (pada upacara mepandes yang diikuti
lebih dari 1 orang).
4. Upacara mejaya-jaya
Pada upacara ini pemimpin upacara memohonkan restu
kehadapan Tuhan agar anak yang melaksanakan mepandes dianugrahi kemenangan
dalam berpikir, perbuatan, damn berbicara.
Benturan budaya yang terjadi pada
tradisi mepandes ini terletak pada kegiatan upacara mepandes, khusunya dalam
tahapan upacara ngendag. Pada saat upacara ngendag, dilakukan kegiatan
pengikiran gigi. Benturan budaya ini terjadi dikaitkan dengan pengikiran gigi
berdasarkan ilmu kedokteran modern.
1.
Mepandes dapat merusak lapisan-lapisan gigi
Gigi merupakan struktur yang keras
menyerupai tulag dan tertanam pada rahang atas dan rahang bawah. Gigi terdiri atas 4 bagian, yaitu enamel,
dentin, sementum, dan pulpa. Struktur gigi normal dapat digambarkan sebagai
berikut.
Enamel merupakan bagian paling keras
dari tubuh manusia, meliputi seluruh mahkota gigi. Fungsi enamel adalah sebagai
proteksi eksternal terhadap rangsang dan tekanan pengunyahan Enamel tidak dapat
diperbaharui. Enamel juga dapat rusak akibat adanya trauma fisik, selain juga
dapat disebabkan oleh zat kimia.2 Dalam rangkaian upacara mepandes, empat
gigi seri dan dua gigi taring dikikir. Keenam gigi tersebut dikikir hingga rata.1 Kegiatan
mengikir gigi tersebut menyebabkan terjadi gesekan antara alat pengikir dengan
bagian incisal gigi (ujung gigi). Gesekan yang terjadi dapat menyebabkan trauma
fisik pada gigi. Trauma fisik tersebut salah satunya akan dapat menyebabkan
kerusakan enamel pada bagian incisal gigi yang dikikir. Berkurangnya lapisan
enamel tentu akan berpengaruh terhadap fungsi fisiologis gigi tersebut. Apabila
proses pengikiran gigi melebihi lapisan enamel, hingga mencapai pulpa, maka
dapat menyebabkan akibat berbahaya lainnya, seperti pupitis.
Jumlah enamel maksimal yang boleh
dikikir berdasarkan ilmu kedokteran adalah sebanyak 50% dari bagian enamel
sehingga tidak menyebabkan risiko pada dental dan periodontal. Hilangnya
lapisan enamel ini selanjutnya dapat menyebabkan akumalasi plak dan peningkatan
potensi karies gigi.3 Lain halnya jika pengikiran gigi mencapai bagian pulpa. Pulpa
merupakan bagian gigi yang terdalam, berupa jaringan
lunak yang kaya dengan pembuluh darah dan saraf dan biasanya sensitif terhadap
rangsangan panas yang ekstrim (panas atau dingin).2 Karena
pulpa yang kaya akan pembuluh darah dapat meningkatkan risiko terjadinya
infeksi apabila proses mengikir sampai menyentuh bagian pulpa tersebut. Adanya
infeksi maupun peradangan pada pulpa (pulpitis)
dapat menyebabkan sensitivitas dan nyeri yang ekstrim. Nyeri ini
dihasilkan dari rangsangan hidrodinamik mengaktifkan mekanoreseptor dalam serat
saraf pulpa superfisial. Pulpitis dapat bersifat reversibel atau ireversibel. Pulpitis
yang tidak diobati dapat menyebabkan nekrosis pulpa.2,3 Pengikiran gigi
harus dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan kemungkinan di atas.
Apabila seseorang dengan lapisan email gigi yang sudah tipis, perlu
diperhatikan dalam proses pemotongan gigi, mengingat lebih rentan untuk
terjadinya kerusakan gigi yang lebih dalam.
2. Trauma oklusi
Oklusi merupakan hubungan kontak antar gigi.4 Gigi seri dan atas dalam
kondisi ideal seharusnya berada dalam keadaan sedikit overlap (gigi seri atas
berada di depan gigi seri bawah).5 Tumpang
tindih gigi rahang atas atas gigi rahang bawah memiliki efek protektif. Selama
pergerakan rahang dalam membuka dan menutup, pipi, bibir, dan lidah cenderung
terperangkap dan dipertemukan bersamaan dalam konak oklusal. Keadaan
ini menjadikan tekanan dari gigi atas terhadap gigi bawah gag terlalu besar,
dan begitu juga sebaliknya.4 Adanya pengikiran gigi dapat mengubah overlapping tersebut. Pengikiran
gigi menyebabkan gigi seri atas dan bawah bertemu langsung, menyebabkan tekanan
gigi atas terhadap bawah dan sebaliknya jadi besar. Hal ini disebut sebagai trauma oklusi.
Jaringan
periodontal terdiri dari gingiva, ligament periodontal, sementum, dan tulang alveolar. Jaringan ini
merupakan jaringan yang mendukung dan mengelilingi gigi dan berfungsi meredam
tekanan oklusi yang diterima oleh gigi. Jaringan periodontal mempunyai batas
ambang menahan tekanan oklusi. Bila tekanan ini berlebih dapat mencederai
jaringan periodontal disekitarnya. Trauma
oklusi merupakan faktor resiko yang dapat memperparah terjadinya
periodontitis. Trauma oklusi tunggal
tidak dapat mencetuskan terjadinya kerusakan jaringan, tetapi adanya plak yang
memicu terjadinya inflamasi. Trauma oklusi meningkatkan perkembangan terjadinya
penyakit periodontal.6
Berdasarkan
analisis di atas, kegiatan mepandes dapat memberikan dampak negatif dari sisi
kedokteran modern, sehingga dapat terjadi benturan budaya pada tradisi mepandes
yang sudah turun temurun dilaksanakan oleh umat Hindu. Upacara mepandes sudah merupakan
keharusan bagi umat Hindu dan sudah menjadi tradisi yang sangat mengikat pada
masyarakat Bali. Akan sangat sulit untuk menghapus atau menghilangkan atau
mengubah perilaku terkait kegiatan ini pada masyarakat, meskipun ada
kemungkinan dampak buruk yang terjadi pada kegiatan mengikir gigi seperti yang
dijelaskan di atas.
Mengubah
perilaku kesehatan masyarakat merupakan tantangan utama bagi tenaga kesehatan, terutama
ketika intervensi berfokus pada orang-orang dengan latar belakang sosial,
budaya, etnis, atau ekonomi keadaan berbeda dari latar belakang kesehatan
profesional sendiri. Untuk mengatasi benturan budaya yang terjadi, antropologi
kesehatan dapat dijadikan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut. Definisi mengenai antropologi kesehatan
mencakup hal-hal berikut.7
1. Mendefinisi
secara komprehensif dan interpretasi berbagai macam masalah tentang hubungan
timbal-balik biobudaya, antara tingkah laku manusia dimasa lalu dan masa kini
dengan derajat kesehatan dan penyakit, tanpa mengutamakan perhatian pada
penggunaan praktis dari pengetahuan tersebut.
2. Partisipasi
profesional mereka dalam program-program yang bertujuan memperbaiki derajat
kesehatan melalui pemahaman yang lebih besar tentang hubungan antara gejala
bio-sosial-budaya dengan kesehatan, serta melalui perubahan tingkah laku sehat
k earah
yang diyakini akan meningkatkan kesehatan yang lebih baik.
Sebuah analisis mendalam berdasarkan teori antropologi
dan metode juga sangat diperlukan ketika merencanakan dan mengembangkan
intervensi promosi kesehatan. Ini memberikan petunjuk untuk memutuskan kapan,
di mana, dengan siapa, bagaimana dan di mana isu-isu untuk yang terlibat. Salah
satu cara untuk mengatasi maslaah benturan budaya ini adalah intervensi dengan
cara dialog.
Dalam megubah perlaku masayarakat
yang sudah mendarah daging melalui suatu kegiatan promosi kesehatan, dapat
dilakukan melalui kegiatan intervensi pada sektor tertentu. Perilaku ini diubah
dari perilaku yang bersifat berisiko, mejadi perilaku yang sehat. Dalam hal ini
perilaku berisiko berupa kegiatan mengikir gigi yang berlebihan agar diubah
menjadi kegiatan mengikir gigi yang sesuai standar kedokteran modern. Dalam hal
ini, seorang tenaga kesehatan perlu mengkaji teori-teori dan bukti mengenai
dampak bahaya dari kegiatan mepandes. Perlu juga diperhatikan pendekatan
ekologi, dimana kita tidak diperbolehkan berfokus pada 1 subyek, misalnya
kepada orang yang akan dipotong giginya, tetapi juga perlu memperhatikan sangging, keluarga, serta pemuka agama
setempat. Karena tindakan yang dilakukan terkait kegiatan mepandes tidak hanya
ditentukan oleh faktor internal dari orang yang akan dipotong giginya,
melainkan dapat dipengaruhi oleh sangging, dan lingkungan lain di sekitarnya.
Dalam
melakukan sosialisasi kesehatan, seorang tenaga kesehatan perlu melakukan mapping terhadap intervensi yang
dilakukan. Mulai pada tahap menganalisis masalah kesehatan (dalam hal ini
kegiatan upacara mepandes), membuat matriks atau tujuan perubahan perilaku
kesehatan, memilih metode atau strategi intervensi yang diberikan, menyusun
program kegiatan, merencanakan implementasi, dan evaluasi terhadap intervensi
yang dilakukan. Salah satu intervensi yang dapat disarankan adalah melalui
kegiatan dialog bersama dengan berbagai stake
holder yang terlibat, seperti masyarakat yang melakukan kegiatan mepandes, sangging, pemuka di daerah setempat, dan
tenaga kesehatan (misalnya dokter gigi). Dalam
menyelesaikan masalah saat dialog, tidak disarankan untuk menggunakan system top down karena cenderung akan tidak
diterima oleh masyarakat.
Dalam berdialog mengenai kegiatan mepandes yang
dilakukan pada masyarakat setempat, tenaga kesehatan perlu banyak mendengar
atau menggali pertanyaan mengapa masyarakat melakukan kegiatan mepandes, dan
seperti apa kegiatan mepandes yang dilakukan. Kemudian tenaga kesehatan akan
menganalisis mengenai budaya mepandes tersebut, kemudian masyarakat target
(dengan budaya mepandes) diminta untuk mengomentari atau memberi reaksi
terhadap analisis budaya yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Persepsi budaya
menurut tenaga kesehatan tersebut dalam hal ini didengarkan dan dikomentari
oleh pasien. Dengan cara ini populasi target (masyarakat dengan budaya
mepandes) dapat menilai apakah analisis yang diberikan oleh tenaga kesehatan
ini sejalan pengalaman mereka sendiri. Dalam hal ini, sebagai tenaga kesehatan
memberikan persepsi bahwa upacara mepandes tersebut sangat sesuai dengan
nilai-nilai luhur keagamaan dan budaya yang telah dijunjung sejak lama.
Filosofi dalam pelaksanaannya pun memiliki tujuan yang mulia yaitu memberikan
menghantarkan seorang anak atau remaja agar mampu mengendalikan dan 6 musuh
yang ada dalam dirinya sehingga mampu menjadi remaja yang suputra (baik). Selain
itu, tenaga kesehatan dalam hal ini menjelaskan mengenai pentingnya melakukan
pengikiran gigi sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu kedokteran dengan
mempertimbangkan manfaat dan kerugian seperti yang dijelaskan pada pemaparan di
atas. Dengan menggunakan metode ini,
maka memungkinkan masyarakat setempat untuk menolak, membenarkan atau
memperbaiki interpretasi dari tenaga kesehatan. Dengan demikian, pandangan yang
dimiliki masyarakat mengenai mepandes, bukan merupakan satu-satunya otoritas,
karena selain melihat dari sisi masyarakat tersebut, juga melihat dari persepsi
kedokteran.
Setelah melakukan dialog mengenai maisng-masing
persepsi (dari masyarakat maupun tenaga kesehatan), tenaga kesehatan
selanjutnya melakukan dialog mengenai diskusi memberikan ide-ide untuk
langkah-langkah lebih lanjut mengenai cara mencegah dampak buruk yang mungkin
timbul dari kegiatan mepandes. Terkait dengan kegiatan mengikir 6 buah gigi
dalam pacara mepandes, dapat dilakukan modifikasi
agar bagian gigi yang dikikir hanya sebagian kecil saja (secara simbolis),
tidak perlu terlalu ekstrim hingga gigi menjadi rata. Selain itu, masyarakat
juga diminta untuk berkonsultasi terlebih dahulu kepada tenaga kesehatan
sebelum melakukan upacara mepandes, mengingat setiap orang memiliki struktur
gigi dan kesehatan gigi yang berbeda-beda, sehingga tidak dapat diperlakukan
dengan cara mengikir yang sama saat prosesi kegiatan mepandes. Tenaga
kesehatan dapat melakukan pendekatan ke sangging mengingat sangging berperan
langsung ntuk melakukan kegiatan mepandes. Tanpa mengurangi peran sangging yang
sudah melekat pada upacara mepandes, dokter dapat mendamping kegiatan mepandes.
Dalam dialog, juga dapat diguanakan bahasa yang umum digunakan pada penduduk
setempat untuk meningkatkan rasa kekerabatan antara tenaga kesehatan dan
masyarakat tersebut. Dengan memberikan
pengertian seperti yang dijelaskan di atas, kegiatan ini tetap dilaksanakan
sehingga tidak menentang ajaran agama dan budaya, tetapi masyarakat masih tetap
dapat memelihara kesehatan giginya.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Sudarsana
IBP. Makna Upacara Potong Gigi (Mepandes). Denpasar: Percetakan Mandara Sastra;
2006.
2. JR
Sturdevant, Lundeen T, Sluder T. Clinical significance of dental anatomy,
histology, physiology, and occlusion. St. Louis: MO; 2002.
3. Pashley D,
Tay F, Haywood V. Dentin Hypersensitivity: Consensus-Based Recommendations for
the Diagnosis and Management of Dentin Hypersensitivity. Insid Dent.
2008;4(9):8–18.
4. Nelson SJ.
Wheeler’s Dental Anatomy, Physiology and Occlusion. Missouri: Saounder
Elsivier; 2010.
5. Hassan R,
Rahimah A. Occlusion, Malocclusion and Method of measurements - An Overview.
Arch Orofac Sci. 2007;2:3–9.
6. Tulak FO.
Peranan Trauma Oklusi terhadap Terjadinya Periodontitis. J E-GIGI PAAI.
2013;1(2):1–3.
7. Djoht D.
Penerapan Ilmu Antropologi Kesehatan dalam Pembangunan Kesehatan Masyarakat
Papua. Antropol Papua. 2002;1(1).
Guru smp saya dulu orang bali dan gigi depan nya kecil2 rata semua dan kelihatan tidak esetetis.
BalasHapusGuru smp saya dulu orang bali dan gigi depan nya kecil2 rata semua dan kelihatan tidak esetetis.
BalasHapus