Sabtu, 17 Oktober 2015

Benturan Budaya dengan Ilmu Kedokteran Modern pada Tradisi Mepandes (Upacara Potong Gigi) oleh Umat Hindu


Menurut agama Hindu, upacara mepandes merupakan ritual keagamaan yang harus dilaksanakan oleh semua umat Hindu, khususnya bagi umat Hindu yang telah menginjak masa remaja. Dalam ajaran ini terkandung nilai-nilai pendidikan budhi pekerti yang sedang dibutuhkan pada masa remaja sebagai sarana dalam pembentukan kepribadian anak yang merupakan kelanjutan dari pembentukan di masa bayi dalam kandungan, dengan harapan lahirnya anak yang suputra (anak yang baik). Oleh karena itu, sifat-sifat keraksasaan tersebut perlu dinetralisir dan dikendalikan, agar nantinya dapat tercapainya tujuan dharma. Dari pelaksanaan ini diharapkan sifat-sifat keraksasaan tersebut dapat berubah menjadi sifat-sifat kebaikan. Selain itu, melalui upacara mepandes, seorang anak telah dilahirkan kedua kali, dan dikatakan kelahiran yang sesungguhnya menjadi anak suputra. Anak yang suputra akan mampu melebur dosa-dosa ke sepuluh tingkat leluhurnya dan akan kembali ke hadapan pencipta.1
Menurut sastra agama Hindu, yang menjadi dasar pelaksanaan upacara mepandes adalah petunjuk bagi setiap umat Hindu, bahwa setiap manusia yang dilahirkan ke dunia telah membawa karma wesana (sisa-sisa karma di kehidupan terdahulu). Dengan adanya karma wesana tersebut akan memberi pengaruh kepada manusia yang bersifat kebajikan dan keburukan. Kedua kekuatan ini telah bersemayam ke dalam diri manusia yang tampak berupa karakteristik dari masing-masing manusia sehingga kekuatan tersebut akan mengalir seperti anak sungai dan muncul ke dalam pikiran dan tingkah lakunya. Dari perilaku inilah yang menjadi cerminan dua kecenderungan yaitu kecenderungan kebajikan dan kecenderungan keburukan. Sehubungan dengan upacara mepandes, kecenderungan keburukan ini merupakan kekuatan penggoda manusia yang dikatakan sebaggai salah satu musuh dalam diri (sad ripu), berupa kama (nafsu), lobha (ketamakan), krodha (kemarahan), mada (kemabukan), moha (kebingungasn), matsarya (iri hati). Berdasarkan uraian tersebut, maka kekuatan sad ripu tersebut setelah dikendalikan memiliki kekuatan yang berintegrasi di anta satu dengan lainnya. Sehubungan dengan upacara potong gigi, sad ripu disimbulkan dengan enam buah gigi (4 gigi seri, dan 2 gigi taring pada rahang atas), yang mana sad ripu mengandung kekuatan keraksaasaan, oleh karena itu harus dikendalikan. Sehingga keenam gigi tersebut dipotong sebagai simbul kekuatan dharma melawan kekuatan buruk (adharma).1
 Apabila dipandang dari sisi jasmaniah, upacara ini mengandung nilai estetika, bahwa dengan cara membuat bentuk gigi supaya terlihat lebih serasi dengan mulut, sehingga terlihat lebih indah dan cantik. Apabila dipandang dari sudut duniawi, terlihat adanya nilai-nilai pendidikan budhi pekerti yang saat mepandes merupakan kesempatan orang tua untuk memberikan petuah petuah bernafaskan ajaran agama yang nantinya dapat diamalkan yang terkait dengan pendidikan budhi pekerti sehingga membentuk kepribadian anak ke tingkat yang lebih stabil.1
Umat Hindu di Bali, dalam melaksanakan upacara mepandes, sangat kental dengan adat istiadatnya. Berdasarkan sastra drestha (menurut sastra), akan dipaparkan mengenai tata cara pelaksanaan upacara mepandes sebagai berikut.1


Gambar 1. Kegiatan Mepandes

1.    Upacara Pekala-kalan
   Tujuan upacara ini adalah korban suci kepada bhatara kala agar pengaruh keburukan dapat dinetralisir yang dilakukan melalui serangkaian kegiatan persembahyangan.
2.    Upacara Pengekeban
            Upacara ini memiliki makna adanya perubahan status dari anak-anak menjadi status remaja.
3.    Upacara Ngendag
            Upacara ngendag adalah peotongan enam buah ggi (empat gigi seri dan dua gigi taring atas). Upacara ini dilaksanakan di merajan (tempat sembahyang di rumah). Saat upacara ini, sang anak harus melakukan sujud di hadapan orang tua. Seorang anak yang dilahirkan ke dunia memiliki hutang spiritual kepada orang tua, khususnya ibu yang telah mengandungnya selama 9 bulan. Terlebih lagi ibu melahirkan harus menahan sakit yang teramat sangat dan setelah lahir, anak dibesarkan.kadang anak-anak sering menyakiti perasaan orang tua seerti mengumpat atau memukul orang tua. Hal itulah yang dianggap sebagai perbuatan dosa kepada orang tua yang nantinya diperitungkan sebagai hutang kepada orang tua. Oleh karena itu, orang tua harus memberikan kesempatan kepada anak untuk membayar hutang berupa pelaksanaan kebajikan melalui tata cara menyembah orang tuanya agar anak mampu mencapai status sebagai anak suputra (baik).
Terkait pelaksanaan tata cara pemotongan gigi, dilakukan pada sebuah ruangan (bale). Di ruangan tersebut terdapat sebuah tempat tidur yang beralaskan tikar dann berisi tulisan atau rerajahan berupa gambar Sang Hyang Semaraja atau Samara Ratih dan pada plafon dibuat semacam hiasan dari kain berbentuk melingkar yang disebut telage ngambeng. Upacara ngendag memiliki urutan sebagai berikut.
a.       Urutan penulisan (ngerajah)
Penulisan menggunakan cincin emas permata mirah, dimana sebelum dilakukan penulisan pada badan anak yang mepandes, cincin dicelupkan dulu ke dalam cairan madu lebah bercampur kapur sirih. Penulisan ini merupakan simbul niyasa, untuk menetralisir kekuatan sad ripu. Penulisan dengan cincin emas permata mirah sebagai simbul lingga yoni yang merupakan perwujudan Sang Hyang Siwa Guru. Sedangkan madu dicampur kapur sirih sebagai simbul pengurip-urip untuk membangkitkan kekuatan aksara suci tersebut.
b.      Urutan pemotongan secara simbolik
Pada tahap ini seorang sangging (orang yang akan membantu melakukan pengikiran gigi saat proses mepandes) mengambil pahat dan semiti (palu) kemudian diberi mantra.
c.       Tahapan budaya dan adat istiadat
Beberapa tahapan yang dilakukan antara lain:
-          Sang sangging terlebih dahulu datang ke bale pesangihan (tempat upacara mepandes) untuk melaksanakan pemujaan kehadapan Sang Hyang Semaraja atau Samara Ratih
-          Umat yang akan mepandes duduk sesuai dengan sikapnya masing-masing (disesuaikan untuk lelaki dan perempuan) lalu melakukan persembahan kehadapan Sang Hyang Semaraja atau Samara Ratih dengan menggunakan kwangen (hiasan bunga) berisi sebelas uang kepeng. Selanjutnya dipercikkan air suci dan ditidurkan dengan posisi terlentang ditutup setengah badan dengan kain wali, di bagian dada ditutup dengan kain kekasang.
-          Seorang sangging telah siap mengerjakan dengan perlatan dan sarana yang lengkap. Pertama memasang pedanggal pada gigi geraham kanan sebagai penyangga gigi agar lebih mudah mengerjakannya. Pedanggal merupakan penyangga rahang atas dengan rahang bawah agar rahang tetap menganga untuk memudahkan pelaksanaan pemotongan gigi. Selanjutnya sangging mengambil kikir sambil mengucapkan mantra. Setelah ujung gigi seri dan taring rata sesuai roman muka, maka dihaluskan lagi dengan batu asah kecil sambil mengucapkan mantra. Selanjutnya gigi diberi penguri-urip berupa kunir, kapur sirih, dan madu dengan cara digosokkan sampai rata. Kemudian yang terakhir diberi lekesan (terbuat dari daun sirih) agar dipotong-potong dengan cara menggigit memakai gigi depan sebanyak tiga kali dan potongannya dibuang ke dalam bungkak kelapa gading.
-          Setelah selesai, umat yang mepandes dipersilahkan turun dari tempat tidur serta menginjak upakara peras enjekan secara simbolis, kemudian masuk kembali ke tempat pengengkeban, demikian silih berganti sampai selesai (pada upacara mepandes yang diikuti lebih dari 1 orang).
4.      Upacara mejaya-jaya
Pada upacara ini pemimpin upacara memohonkan restu kehadapan Tuhan agar anak yang melaksanakan mepandes dianugrahi kemenangan dalam berpikir, perbuatan, damn berbicara.

Benturan budaya yang terjadi pada tradisi mepandes ini terletak pada kegiatan upacara mepandes, khusunya dalam tahapan upacara ngendag. Pada saat upacara ngendag, dilakukan kegiatan pengikiran gigi. Benturan budaya ini terjadi dikaitkan dengan pengikiran gigi berdasarkan ilmu kedokteran modern.
1.      Mepandes dapat merusak lapisan-lapisan gigi

Gigi merupakan struktur yang keras menyerupai tulag dan tertanam pada rahang atas dan rahang bawah.  Gigi terdiri atas 4 bagian, yaitu enamel, dentin, sementum, dan pulpa. Struktur gigi normal dapat digambarkan sebagai berikut.


Gambar 2. Struktur normal gigi
Enamel merupakan bagian paling keras dari tubuh manusia, meliputi seluruh mahkota gigi. Fungsi enamel adalah sebagai proteksi eksternal terhadap rangsang dan tekanan pengunyahan Enamel tidak dapat diperbaharui. Enamel juga dapat rusak akibat adanya trauma fisik, selain juga dapat disebabkan oleh zat kimia.2 Dalam rangkaian upacara mepandes, empat gigi seri dan dua gigi taring dikikir. Keenam gigi tersebut dikikir hingga rata.1 Kegiatan mengikir gigi tersebut menyebabkan terjadi gesekan antara alat pengikir dengan bagian incisal gigi (ujung gigi). Gesekan yang terjadi dapat menyebabkan trauma fisik pada gigi. Trauma fisik tersebut salah satunya akan dapat menyebabkan kerusakan enamel pada bagian incisal gigi yang dikikir. Berkurangnya lapisan enamel tentu akan berpengaruh terhadap fungsi fisiologis gigi tersebut. Apabila proses pengikiran gigi melebihi lapisan enamel, hingga mencapai pulpa, maka dapat menyebabkan akibat berbahaya lainnya, seperti pupitis.
Jumlah enamel maksimal yang boleh dikikir berdasarkan ilmu kedokteran adalah sebanyak 50% dari bagian enamel sehingga tidak menyebabkan risiko pada dental dan periodontal. Hilangnya lapisan enamel ini selanjutnya dapat menyebabkan akumalasi plak dan peningkatan potensi karies gigi.3 Lain halnya jika pengikiran gigi mencapai bagian pulpa. Pulpa merupakan bagian gigi yang terdalam, berupa jaringan lunak yang kaya dengan pembuluh darah dan saraf dan biasanya sensitif terhadap rangsangan panas yang ekstrim (panas atau dingin).2 Karena pulpa yang kaya akan pembuluh darah dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi apabila proses mengikir sampai menyentuh bagian pulpa tersebut. Adanya infeksi maupun peradangan pada pulpa (pulpitis) dapat menyebabkan sensitivitas dan nyeri yang ekstrim. Nyeri ini dihasilkan dari rangsangan hidrodinamik mengaktifkan mekanoreseptor dalam serat saraf pulpa superfisial. Pulpitis dapat bersifat reversibel atau ireversibel. Pulpitis yang tidak diobati dapat menyebabkan nekrosis pulpa.2,3 Pengikiran gigi harus dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan kemungkinan di atas. Apabila seseorang dengan lapisan email gigi yang sudah tipis, perlu diperhatikan dalam proses pemotongan gigi, mengingat lebih rentan untuk terjadinya kerusakan gigi yang lebih dalam.

2.      Trauma oklusi
Oklusi merupakan hubungan kontak antar gigi.4 Gigi seri dan atas dalam kondisi ideal seharusnya berada dalam keadaan sedikit overlap (gigi seri atas berada di depan gigi seri bawah).5 Tumpang tindih gigi rahang atas atas gigi rahang bawah memiliki efek protektif. Selama pergerakan rahang dalam membuka dan menutup, pipi, bibir, dan lidah cenderung terperangkap dan dipertemukan bersamaan dalam konak oklusal.  Keadaan ini menjadikan tekanan dari gigi atas terhadap gigi bawah gag terlalu besar, dan begitu juga sebaliknya.4 Adanya pengikiran gigi dapat mengubah overlapping tersebut. Pengikiran gigi menyebabkan gigi seri atas dan bawah bertemu langsung, menyebabkan tekanan gigi atas terhadap bawah dan sebaliknya jadi besar. Hal ini disebut sebagai trauma oklusi.
Jaringan periodontal terdiri dari gingiva, ligament periodontal, sementum, dan tulang alveolar. Jaringan ini merupakan jaringan yang mendukung dan mengelilingi gigi dan berfungsi meredam tekanan oklusi yang diterima oleh gigi. Jaringan periodontal mempunyai batas ambang menahan tekanan oklusi. Bila tekanan ini berlebih dapat mencederai jaringan periodontal disekitarnya. Trauma oklusi merupakan faktor resiko yang dapat memperparah terjadinya periodontitis.  Trauma oklusi tunggal tidak dapat mencetuskan terjadinya kerusakan jaringan, tetapi adanya plak yang memicu terjadinya inflamasi. Trauma oklusi meningkatkan perkembangan terjadinya penyakit periodontal.6

Berdasarkan analisis di atas, kegiatan mepandes dapat memberikan dampak negatif dari sisi kedokteran modern, sehingga dapat terjadi benturan budaya pada tradisi mepandes yang sudah turun temurun dilaksanakan oleh umat Hindu. Upacara mepandes sudah merupakan keharusan bagi umat Hindu dan sudah menjadi tradisi yang sangat mengikat pada masyarakat Bali. Akan sangat sulit untuk menghapus atau menghilangkan atau mengubah perilaku terkait kegiatan ini pada masyarakat, meskipun ada kemungkinan dampak buruk yang terjadi pada kegiatan mengikir gigi seperti yang dijelaskan di atas.
Mengubah perilaku kesehatan masyarakat merupakan tantangan utama bagi tenaga kesehatan, terutama ketika intervensi berfokus pada orang-orang dengan latar belakang sosial, budaya, etnis, atau ekonomi keadaan berbeda dari latar belakang kesehatan profesional sendiri. Untuk mengatasi benturan budaya yang terjadi, antropologi kesehatan dapat dijadikan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut.  Definisi mengenai antropologi kesehatan mencakup hal-hal berikut.7
1.      Mendefinisi secara komprehensif dan interpretasi berbagai macam masalah tentang hubungan timbal-balik biobudaya, antara tingkah laku manusia dimasa lalu dan masa kini dengan derajat kesehatan dan penyakit, tanpa mengutamakan perhatian pada penggunaan praktis dari pengetahuan tersebut.
2.      Partisipasi profesional mereka dalam program-program yang bertujuan memperbaiki derajat kesehatan melalui pemahaman yang lebih besar tentang hubungan antara gejala bio-sosial-budaya dengan kesehatan, serta melalui perubahan tingkah laku sehat k earah yang diyakini akan meningkatkan kesehatan yang lebih baik.

Sebuah analisis mendalam berdasarkan teori antropologi dan metode juga sangat diperlukan ketika merencanakan dan mengembangkan intervensi promosi kesehatan. Ini memberikan petunjuk untuk memutuskan kapan, di mana, dengan siapa, bagaimana dan di mana isu-isu untuk yang terlibat. Salah satu cara untuk mengatasi maslaah benturan budaya ini adalah intervensi dengan cara dialog.
Dalam megubah perlaku masayarakat yang sudah mendarah daging melalui suatu kegiatan promosi kesehatan, dapat dilakukan melalui kegiatan intervensi pada sektor tertentu. Perilaku ini diubah dari perilaku yang bersifat berisiko, mejadi perilaku yang sehat. Dalam hal ini perilaku berisiko berupa kegiatan mengikir gigi yang berlebihan agar diubah menjadi kegiatan mengikir gigi yang sesuai standar kedokteran modern. Dalam hal ini, seorang tenaga kesehatan perlu mengkaji teori-teori dan bukti mengenai dampak bahaya dari kegiatan mepandes. Perlu juga diperhatikan pendekatan ekologi, dimana kita tidak diperbolehkan berfokus pada 1 subyek, misalnya kepada orang yang akan dipotong giginya, tetapi juga perlu memperhatikan sangging, keluarga, serta pemuka agama setempat. Karena tindakan yang dilakukan terkait kegiatan mepandes tidak hanya ditentukan oleh faktor internal dari orang yang akan dipotong giginya, melainkan dapat dipengaruhi oleh sangging, dan lingkungan lain di sekitarnya.
Dalam melakukan sosialisasi kesehatan, seorang tenaga kesehatan perlu melakukan mapping terhadap intervensi yang dilakukan. Mulai pada tahap menganalisis masalah kesehatan (dalam hal ini kegiatan upacara mepandes), membuat matriks atau tujuan perubahan perilaku kesehatan, memilih metode atau strategi intervensi yang diberikan, menyusun program kegiatan, merencanakan implementasi, dan evaluasi terhadap intervensi yang dilakukan. Salah satu intervensi yang dapat disarankan adalah melalui kegiatan dialog bersama dengan berbagai stake holder yang terlibat, seperti masyarakat yang melakukan kegiatan mepandes, sangging, pemuka di daerah setempat, dan tenaga kesehatan (misalnya dokter gigi). Dalam menyelesaikan masalah saat dialog, tidak disarankan untuk menggunakan system top down karena cenderung akan tidak diterima oleh masyarakat.
Dalam berdialog mengenai kegiatan mepandes yang dilakukan pada masyarakat setempat, tenaga kesehatan perlu banyak mendengar atau menggali pertanyaan mengapa masyarakat melakukan kegiatan mepandes, dan seperti apa kegiatan mepandes yang dilakukan. Kemudian tenaga kesehatan akan menganalisis mengenai budaya mepandes tersebut, kemudian masyarakat target (dengan budaya mepandes) diminta untuk mengomentari atau memberi reaksi terhadap analisis budaya yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Persepsi budaya menurut tenaga kesehatan tersebut dalam hal ini didengarkan dan dikomentari oleh pasien. Dengan cara ini populasi target (masyarakat dengan budaya mepandes) dapat menilai apakah analisis yang diberikan oleh tenaga kesehatan ini sejalan pengalaman mereka sendiri. Dalam hal ini, sebagai tenaga kesehatan memberikan persepsi bahwa upacara mepandes tersebut sangat sesuai dengan nilai-nilai luhur keagamaan dan budaya yang telah dijunjung sejak lama. Filosofi dalam pelaksanaannya pun memiliki tujuan yang mulia yaitu memberikan menghantarkan seorang anak atau remaja agar mampu mengendalikan dan 6 musuh yang ada dalam dirinya sehingga mampu menjadi remaja yang suputra (baik). Selain itu, tenaga kesehatan dalam hal ini menjelaskan mengenai pentingnya melakukan pengikiran gigi sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu kedokteran dengan mempertimbangkan manfaat dan kerugian seperti yang dijelaskan pada pemaparan di atas. Dengan menggunakan metode ini, maka memungkinkan masyarakat setempat untuk menolak, membenarkan atau memperbaiki interpretasi dari tenaga kesehatan. Dengan demikian, pandangan yang dimiliki masyarakat mengenai mepandes, bukan merupakan satu-satunya otoritas, karena selain melihat dari sisi masyarakat tersebut, juga melihat dari persepsi kedokteran.
Setelah melakukan dialog mengenai maisng-masing persepsi (dari masyarakat maupun tenaga kesehatan), tenaga kesehatan selanjutnya melakukan dialog mengenai diskusi memberikan ide-ide untuk langkah-langkah lebih lanjut mengenai cara mencegah dampak buruk yang mungkin timbul dari kegiatan mepandes. Terkait dengan kegiatan mengikir 6 buah gigi dalam pacara mepandes, dapat dilakukan modifikasi agar bagian gigi yang dikikir hanya sebagian kecil saja (secara simbolis), tidak perlu terlalu ekstrim hingga gigi menjadi rata. Selain itu, masyarakat juga diminta untuk berkonsultasi terlebih dahulu kepada tenaga kesehatan sebelum melakukan upacara mepandes, mengingat setiap orang memiliki struktur gigi dan kesehatan gigi yang berbeda-beda, sehingga tidak dapat diperlakukan dengan cara mengikir yang sama saat prosesi kegiatan mepandes. Tenaga kesehatan dapat melakukan pendekatan ke sangging mengingat sangging berperan langsung ntuk melakukan kegiatan mepandes. Tanpa mengurangi peran sangging yang sudah melekat pada upacara mepandes, dokter dapat mendamping kegiatan mepandes. Dalam dialog, juga dapat diguanakan bahasa yang umum digunakan pada penduduk setempat untuk meningkatkan rasa kekerabatan antara tenaga kesehatan dan masyarakat tersebut. Dengan memberikan pengertian seperti yang dijelaskan di atas, kegiatan ini tetap dilaksanakan sehingga tidak menentang ajaran agama dan budaya, tetapi masyarakat masih tetap dapat memelihara kesehatan giginya.



DAFTAR PUSTAKA
1. Sudarsana IBP. Makna Upacara Potong Gigi (Mepandes). Denpasar: Percetakan Mandara Sastra; 2006.
2. JR Sturdevant, Lundeen T, Sluder T. Clinical significance of dental anatomy, histology, physiology, and occlusion. St. Louis: MO; 2002.
3. Pashley D, Tay F, Haywood V. Dentin Hypersensitivity: Consensus-Based Recommendations for the Diagnosis and Management of Dentin Hypersensitivity. Insid Dent. 2008;4(9):8–18.
4. Nelson SJ. Wheeler’s Dental Anatomy, Physiology and Occlusion. Missouri: Saounder Elsivier; 2010.
5. Hassan R, Rahimah A. Occlusion, Malocclusion and Method of measurements - An Overview. Arch Orofac Sci. 2007;2:3–9.
6. Tulak FO. Peranan Trauma Oklusi terhadap Terjadinya Periodontitis. J E-GIGI PAAI. 2013;1(2):1–3.
7. Djoht D. Penerapan Ilmu Antropologi Kesehatan dalam Pembangunan Kesehatan Masyarakat Papua. Antropol Papua. 2002;1(1).

2 komentar:

  1. Guru smp saya dulu orang bali dan gigi depan nya kecil2 rata semua dan kelihatan tidak esetetis.

    BalasHapus
  2. Guru smp saya dulu orang bali dan gigi depan nya kecil2 rata semua dan kelihatan tidak esetetis.

    BalasHapus